Ekonomi Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp. Tangan Diatas Lebih Baik Dari Tangan Dibawah. Dalam soal kefakiran dan kekayaan kaum Sufi sepakat menyatakan bahwa kefakiran jika disertai sifat redha itu lebih afdhal dari kekayaan, sebab itulah ia menjadi pilihan Baginda Sidnan Nabi Muhammad SAW dan ini jugalah yang dianjurkan oleh Malaikat Jibril
tangandiatas lebih baik daripada tangan dibawah. 111 likes. Community
DariHakîm bin Hizâm Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam , Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah. Dan mulailah dari orang yang menjadi tanggunganmu. Dan sebaik-sebaik sedekah adalah yang dikeluarkan dari orang yang tidak membutuhkannya.
gffEDV. Khutbah Pertama إِنّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنّ مُحَمّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ اَللهُمّ صَلّ وَسَلّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن. يَاأَيّهَا الّذَيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ حَقّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنّ إِلاّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ يَاأَيّهَا النَاسُ اتّقُوْا رَبّكُمُ الّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَاءً وَاتّقُوا اللهَ الَذِي تَسَاءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَام إِنّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا يَاأَيّهَا الّذِيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْلَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا، أَمّا بَعْدُ … فَأِنّ أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ، وَخَيْرَ الْهَدْىِ هَدْىُ مُحَمّدٍ صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّمَ، وَشَرّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةً، وَكُلّ ضَلاَلَةِ فِي النّارِ Ibadallah, Khotib mewasiatkan kepada diri khotib pribadi dan jamaah sekalian agar senantiasa bertakwa kepada Allah Ta’ala. Karena dengan takwalah seseorang akan memperoleh kehidupan yang baik di dunia dan akhirat. Kaum muslimin, Sesungguhnya agama Islam adalah agama yang mulia dan mengajarkan kemuliaan. Di antara bentuk kemuliaan yang diajarkan Islam adalah tentang memberi. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, عَنْ حَكِيْمِ بْنِ حِزَامٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اَلْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى، وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُوْلُ، وَخَيْرُ الصَّدَقَةِ عَنْ ظَهْرِ غِنًى، وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللهُ، وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللهُ Dari Hakim bin Hizam Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, Beliau Shallallahu alaihi wa sallam bersabda Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah. Dan mulailah dari orang yang menjadi tanggunganmu. Dan sebaik-sebaik sedekah adalah yang dikeluarkan dari orang yang tidak membutuhkannya. Barangsiapa menjaga kehormatan dirinya maka Allah akan menjaganya dan barangsiapa yang merasa cukup maka Allah akan memberikan kecukupan kepadanya.” Muttafaq alaih Sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam اَلْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah Yaitu orang yang memberi lebih baik daripada orang yang menerima, karena pemberi berada di atas penerima, maka tangan dialah yang lebih tinggi sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam . Al-Yadus Sufla tangan yang dibawah memiliki beberapa pengertian Makna Pertama, artinya orang yang menerima, jadi maksudnya adalah orang yang memberi lebih baik daripada orang yang menerima. Namun ini bukan berarti bahwa orang yang diberi tidak boleh menerima pemberian orang lain. Bila seseorang memberikan hadiah kepadanya, maka dia boleh menerimanya, seperti yang terjadi pada Shahabat yang mulia Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu ketika beliau Radhiyallahu anhu menolak pemberian dari Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, maka Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda kepadanya خُذْهُ، وَمَا جَاءَكَ مِنْ هَذَا الْمَالِ وَأنْتَ غَيْرُ مُشْرِفٍ وَلاَ سَائِلٍ، فَخُذْهُ، وَمَا لَا، فَلاَ تُتْبِعْهُ نَفْسَكَ Ambillah pemberian ini! Harta yang datang kepadamu, sementara engkau tidak mengharapkan kedatangannya dan tidak juga memintanya, maka ambillah. Dan apa-apa yang tidak diberikan kepadamu, maka jangan memperturutkan hawa nafsumu untuk memperolehnya.”[Muttafaq alaih] Demikian juga jika ada yang memberikan sedekah dan infak kepada orang miskin dan orang itu berhak menerima, maka boleh ia menerimanya. Makna kedua, yaitu orang yang minta-minta, sebagaimana dalam sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam اَلْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى، اَلْيَدُ الْعُلْيَا هِيَ الْمُنْفِقَةُ، وَالسُّفْلَى هِيَ السَّائِلَةُ Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah. Tangan di atas yaitu orang yang memberi infak dan tangan di bawah yaitu orang yang minta-minta.[Muttafaq alaih] Makna yang kedua ini terlarang dalam syari’at bila seseorang tidak sangat membutuhkan, karena meminta-minta dalam syari’at Islam tidak boleh, kecuali sangat terpaksa. Ada beberapa hadits Nabi Shallallahu alaihi wa sallam yang melarang untuk meminta-minta, di antaranya sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ، حَتَّىٰ يَأْتِيَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِيْ وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ Seseorang senantiasa meminta-minta kepada orang lain sehingga ia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan tidak ada sepotong daging pun di wajahnya.[Muttafaq alaih] Hadits ini merupakan ancaman keras yang menunjukkan bahwa meminta-minta kepada manusia tanpa ada kebutuhan itu hukumnya haram. Oleh karena itu, para Ulama mengatakan bahwa tidak halal bagi seseorang meminta sesuatu kepada manusia kecuali ketika darurat. Ancaman dalam hadits di atas diperuntukkan bagi orang yang meminta-minta kepada orang lain untuk memperkaya diri, bukan karena kebutuhan. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda مَنْ سَأَلَ مِنْ غَيْرِ فَقْرٍ فَكَأَنَّمَا يَأْكُلُ الْجَمْرَ Barangsiapa meminta-minta kepada orang lain tanpa adanya kebutuhan, maka seolah-olah ia memakan bara api.’” [HR. Ahmad] Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu ia berkata, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda مَنْ سَأَلَ النَّاسَ أَمْوَالَهُمْ تَكَثُّرًا، فَإِنَّمَا يَسْأَلُ جَمْرًا، فَلْيَسْتَقِلَّ أَوْ لِيَسْتَكْثِرْ Barangsiapa meminta harta kepada orang lain untuk memperkaya diri, maka sungguh, ia hanyalah meminta bara api, maka silakan ia meminta sedikit atau banyak. [HR. Muslim] Adapun meminta-minta karena adanya kebutuhan yang sangat mendesak, maka boleh karena terpaksa. Allah Azza wa Jalla berfirman وَأَمَّا السَّائِلَ فَلَا تَنْهَرْ Dan terhadap orang yang meminta-minta, janganlah engkau menghardiknya.” [Adh-Dhuha/9310] Dan juga seperti dalam hadits Qabishah yang panjang, yang diriwayatkan oleh Imam Muslim no. 1044 dan lainnya. Sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُوْلُ Dan mulailah dari orang yang menjadi tanggunganmu Yaitu saat ingin memberikan sesuatu, hendaknya manusia memulai dan memprioritaskan orang yang menjadi tanggungannya, yakni yang wajib ia nafkahi. Menafkahi keluarga lebih utama daripada bersedekah kepada orang miskin, karena menafkahi keluarga merupakan sedekah, menguatkan hubungan kekeluargaan, dan menjaga kesucian diri, maka itulah yang lebih utama. Mulailah dari dirimu! Lalu orang yang menjadi tanggunganmu. Berinfak untuk dirimu lebih utama daripada berinfak untuk selainnya, sebagaimana dalam hadits, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda اِبْدَأْ بِنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا، فَإِنْ فَضَلَ شَيْءٌ فَلِأَهْلِكَ Mulailah dari dirimu, bersedekahlah untuknya, jika ada sisa, maka untuk keluargamu [HR. Muslim] Dalam hadits di awal rubrik ini, Nabi Shallallahu alaihi wa sallam menyuruh umatnya untuk memulai pemberian nafkah dari keluarga. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda دِيْنَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ، وَدِيْنَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِيْ رَقَبَةٍ، وَدِيْنَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلَى مِسْكِيْنٍ، وَدِيْنَارٌ أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ، أَعَظَمُهَا أَجْرًا الَّذِيْ أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ. Satu dinar yang engkau infaqkan di jalan Allah, satu dinar yang engkau infakkan untuk memerdekakan seorang hamba budak, satu dinar yang engkau infakkan untuk orang miskin, dan satu dinar yang engkau infakkan untuk keluargamu, maka yang lebih besar ganjarannya ialah satu dinar yang engkau infakkan untuk keluargamu. [HR. Muslim]. Sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam وَخَيْرُ الصَّدَقَةِ عَنْ ظَهْرِ غِنًى Dan sebaik-sebaik sedekah adalah yang dikeluarkan dari orang yang tidak membutuhkannya Artinya sedekah terbaik yang diberikan kepada sanak keluarga, fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan adalah sedekah yang berasal dari kelebihan harta setelah keperluan terpenuhi. Artinya, setelah dia memenuhi keperluan keluarganya secara wajar, baru kemudian kelebihannya disedekahkan kepada fakir miskin. Hadits yang serupa dengan pembahasan ini yaitu hadits yang diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda مَا يَكُنْ عِنْدِيْ مِنْ خَيْرٍ فَلَنْ أَدَّخِرَهُ عَنْكُمْ،وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللهُ، وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللهُ، وَمَنْ يَتَصَبَّرْ يُصَبِّرْهُ اللهُ، وَمَا أُعْطِيَ أَحَدٌ عَطَاءً خَيْرًا وَأَوْسَعَ مِنَ الصَّبْرِ Apa saja kebaikan yang aku punya, aku tidak akan menyembunyikannya dari kalian. Barangsiapa menjaga kehormatan dirinya dari kejelekan, maka Allah akan menjaganya. Barangsiapa merasa cukup dengan karunia Allah maka Allah akan mencukupinya. Barangsiapa melatih diri untuk bersabar, maka Allah akan menjadikannya sabar. Dan tidaklah seseorang diberi sebuah pemberian yang lebih baik dan lebih luas daripada anugerah kesabaran.[Muttafaqun alaih] Hadits ini mengandung empat kalimat yang bermanfaat dan menyeluruh yaitu Kalimat Pertama وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللهُ Barangsiapa menjaga kehormatan dirinya dari kejelekan, maka Allah akan menjaganya Kalimat Kedua ومَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللهُ Barangsiapa merasa cukup dengan karunia Allah maka Allah akan mencukupinya Kedua kalimat di atas saling berkaitan, karena kesempurnaan penghambaan diri seorang hamba kepada Allah Azza wa Jalla terletak dalam keikhlasannya kepada Allah, takut, harap, dan bergantung kepada-Nya, tidak kepada makhluk. Oleh karena itu, wajib baginya untuk berusaha merealisasikan kesempurnaan tersebut, mengerjakan semua sebab dan perantara yang bisa mengantarkannya kepada kesempurnaan tersebut. Sehingga dia menjadi hamba Allah yang sejati, bebas dari perbudakan seluruh makhluk. Dan itu didapat dengan mencurahkan jiwanya pada dua perkara; Meninggalkan ketergantungan pada seluruh makhluk dengan menjauhkan diri dari apa-apa yang ada pada mereka. Tidak meminta kepada mereka dengan perkataan maupun keadaannya. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda kepada Umar Radhiyallahu anhu خُذْهُ، وَمَا جَاءَكَ مِنْ هَذَا الْمَالِ وَأَنْتَ غَيْرُ مُشْرِفٍ وَلاَ سَائِلٍ، فَخُذْهُ، وَمَا لَا، فَلاَ تُتْبِعْهُ نَفْسَكَ. Ambillah pemberian ini. Harta yang datang kepadamu, sedang engkau tidak mengharapkan kedatangannya dan tidak juga memintanya, maka ambillah! Dan apa-apa yang tidak diberikan kepadamu, maka jangan memperturutkan hawa nafsumu untuk memperolehnya[9] Maka menghilangkan ketamakan dari dalam hati serta menjauhkan lisan dari meminta-minta demi menjaga diri dan menjauhkan diri dari pemberian makhluk serta menjauhkan diri ketergantungan hati terhadap mereka, merupakan faktor yang kuat untuk memperoleh iffah kesucian diri dan dijauhkan dari hal-hal yang tidak halal atau tidak baik. Merasa cukup dengan Allah Azza wa Jalla, percaya dengan kecukupan-Nya, karena barangsiapa bertawakkal kepada Allah Azza wa Jalla, maka Allah Azza wa Jalla akan mencukupinya. Inilah yang dimaksudkan oleh Allah Azza wa Jalla dalam firman-Nya وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ Dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan keperluannya…” [Ath-Thalaq/653] Potongan kalimat yang pertama yaitu sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam yang artinya, “Barangsiapa menjaga kehormatan dirinya, maka Allah akan menjaganya,” merupakan wasilah cara untuk sampai kepada hal ini. Yaitu barangsiapa menjaga kehormatan dirinya dari apa-apa yang ada pada manusia dan apa-apa yang didapat dari mereka, maka itu mendorong dirinya untuk semakin bertawakkal kepada Allah Azza wa Jalla, berharap, semakin menguatkan keinginannya dalam meraih kebaikan dari Allah Azza wa Jalla, dan berbaik sangka kepada Allah serta percaya kepada-Nya. Allah Azza wa Jalla bersama hamba-Nya yang berprasangka baik kepada-Nya; jika hamba tersebut berprasangka baik, maka itu yang dia dapat. Dan jika ia berprasangka buruk, maka itu yang dia dapat. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits bahwa Allah Azza wa Jalla berfirman أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِيْ بِيْ Aku bersama prasangka hamba-Ku terhadap-Ku [Muttafaqun alaih] Masing-masing dari dua hal tersebut saling membangun dan saling menguatkan. Semakin kuat ketergantungannya kepada Allah Azza wa Jalla, maka akan semakin lemah ketergantungannya kepada seluruh makhluk. Begitu juga sebaliknya, semakin kuat ketergantungan manusia kepada makhluk, maka semakin lemah ketergantungannya kepada Allah Azza wa Jalla. Di antara do’a Nabi Shallallahu alaihi wa sallam yaitu اللهم إِنِّيْ أَسْأَلُكَ الْهُدَى، وَالتُّقَى، وَالْعَفَافَ، وَالْغِنَى Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepadamu petunjuk, ketakwaan, kesucian dijauhkan dari hal-hal yang tidak halal dan tidak baik, dan aku memohon kepada-Mu kecukupan dijauhkan dari hal-hal yang tidak halal/tidak baik, dan aku memohon kepada-Mu kecukupan. [HR. Muslim] Doa yang singkat ini telah mencakup seluruh kebaikan, yaitu Petunjuk yaitu memohon hidayah ilmu yang bermanfaat. Ketakwaan Takwa kepada Allah yaitu dengan mengerjakan amal-amal shalih dan meninggalkan segala hal yang haram. Inilah kebaikan agama. Yang menyempurnakan itu semua adalah keshalihan hati dan ketenangannya yang dapat diraih dengan menjauhkan diri dari makhluk dan merasa cukup dengan Allah Azza wa Jalla. Barangsiapa merasa cukup dengan Allah Azza wa Jalla, maka dia adalah orang kaya yang sesungguhnya, walaupun penghasilannya sedikit. Karena kekayaan bukanlah dengan banyaknya harta, tetapi kekayaan yaitu kekayaan hati. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ Hakikat kaya bukanlah dengan banyaknya harta benda, namun kaya yang sebenarnya adalah kaya hati merasa ridha dan cukup dengan rezeki yang dikaruniakan [HR. Ahmad] Dengan iffah kesucian diri dan merasa berkecukupan maka akan terwujud kehidupan yang baik bagi seorang hamba, nikmat dunia, dan qana’ah merasa puas atas apa yang Allah berikan padanya. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللهُ بِمَا آتَاهُ Sungguh beruntung orang yang masuk Islam, diberikan rezeki yang cukup, dan dia merasa puas dengan apa yang Allah berikan kepadanya [HR. Muslim] Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda طُوْبَى لِمَنْ هُدِيَ إِلَى الْإِسْلَامِ، وَكَانَ عَيْشُهُ كَفَافًا، وَقَنِعَ Berbahagialah orang yang mendapat petunjuk untuk memeluk Islam, dan diberi rezeki yang cukup serta merasa puas qana’ah [HR. Ahmad] Orang yang merasa cukup dan qana’ah merasa puas dengan apa yang Allah karuniakan –meskipun dia hanya mempunyai bekal dan makanan hari itu saja– maka seolah-olah ia memiliki dunia dan seisinya. بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي القُرْآنِ العَظِيْمِ وَنَفَعْنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الآيآتِ وَالذِّكْرِ الحَكِيْمِ، أَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا، وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ لِي وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ المُسْلِمِيْنَ مِنْ ذَنْبٍ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ. Khutbah Kedua اَلْحَمْدُ لِلَّهِ عَلَى إِحْسَانِهِ، وَالشُّكْرُ عَلَى تَوْفِيْقِهِ وَامْتِنَانِهِ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ تَعْظِيْمًا لِشَأْنِهِ، وَأَشْهَدُ أَنَّ نَبِيَّنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ، وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا مَزِيْدًا. Ibadallah, Kalimat ketiga وَمَنْ يَتَصَبَّرْ يُصَبِّرْهُ اللهُ Barang siapa yang melatih diri untuk bersabar, maka Allah akan menjadikan dia sabar Kemudian disebutkan dalam kalimat keempat bahwa jika Allah Azza wa Jalla memberikan kesabaran kepada seorang hamba, maka pemberian itu merupakan anugerah yang paling utama dan pertolongan yang paling luas serta paling agung. Allah Azza wa Jalla berfirman وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ Dan mohonlah pertolongan kepada Allah dengan sabar dan shalat…” [Al-Baqarah/245], yaitu dalam setiap perkara kalian. Allah Azza wa Jalla juga berfirman وَاصْبِرْ وَمَا صَبْرُكَ إِلَّا بِاللَّهِ ۚ وَلَا تَحْزَنْ عَلَيْهِمْ وَلَا تَكُ فِي ضَيْقٍ مِمَّا يَمْكُرُونَ Dan bersabarlah Muhammad dan kesabaranmu itu semata-mata dengan pertolongan Allah dan janganlah engkau bersedih hati terhadap kekafiran mereka dan jangan pula bersempit dada terhadap tipu daya yang mereka rencanakan.” [An-Nahl/16127] Sabar, seperti halnya akhlak-akhlak terpuji lainnya, membutuhkan kesungguhan jiwa dan latihan. Karena itulah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang melatih diri untuk bersabar,” yaitu orang yang mencurahkan jiwanya untuk bersabar, “Maka Allah Azza wa Jalla akan menjadikannya sabar,” yaitu Allah akan menolongnya agar ia bisa bersabar. Sabar itu merupakan pemberian yang paling agung, karena ia berkaitan dengan semua urusan seorang hamba dan sebagai penyempurnanya. Seorang hamba membutuhkan kesabaran dalam segala keadaan selama hidupnya. Seorang hamba membutuhkan kesabaran dalam segala hal, di antaranya Dalam menjalankan ketaatan kepada Allah sampai dia bisa mengerjakan dan menunaikannya Sabar dalam menjauhkan maksiat kepada Allah sampai dia bisa meninggalkannya karena Allah Azza wa Jalla. Sabar atas takdir-takdir Allah yang menyakitkan sampai dia tidak marah karenanya. Bahkan seorang hamba membutuhkan sabar atas nikmat-nikmat Allah dan hal-hal yang dicintai oleh jiwa, sehingga dia tidak membiarkan jiwanya tenggelam dalam kesenangan dan kegembiraan yang tercela, tetapi dia terus menyibukkannya dengan bersyukur kepada Allah Azza wa Jalla. Kesimpulannya, seorang hamba membutuhkan kesabaran dalam setiap keadaannya. Dengan kesabaran, seorang hamba akan mendapat kemenangan. Allah Azza wa Jalla menyebutkan tentang penghuni surga dalam firman-Nya وَالْمَلَائِكَةُ يَدْخُلُونَ عَلَيْهِمْ مِنْ كُلِّ بَابٍ ﴿٢٣﴾ سَلَامٌ عَلَيْكُمْ بِمَا صَبَرْتُمْ ۚ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ “…Sedangkan para malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu;sambil mengucapkan, Selamat sejahtera atasmu karena kesabaranmu.’ maka alangkah nikmatnya tempat kesudahan itu.” [Ar-Ra’du/13 23-24] Begitu juga firman-Nya أُولَٰئِكَ يُجْزَوْنَ الْغُرْفَةَ بِمَا صَبَرُوا Mereka itu akan diberi balasan dengan tempat yang tinggi dalam surga atas kesabaran mereka… [Al-Furqan/2575] Mereka mendapatkan surga berserta kenikmatannya dan mendapatkan tempat-tempat yang tinggi karena kesabaran. Seorang hamba harus meminta kepada Allah Azza wa Jalla agar diselamatkan dari cobaan yang tidak diketahui akibatnya, namun jika cobaan itu datang kepadanya, maka kewajibannya adalah bersabar. Sabar itu awalnya sangat sulit, tetapi akhirnya mudah dan terpuji. Sebagaimana dikatakan وَالصَّبْرُ مِثْلُ اسْمِهِ مُرٌّ مَذَاقَتُهُ لَكِنْ عَوَاقِبُهُ أَحْلَى مِنَ الْعَسَلِ Sabar itu pahit rasanya seperti namanya Tetapi akhirnya lebih manis daripada madu وَصَلُّوْا وَسَلِّمُوْا رَعَاكُمُ اللهُ عَلَى مُحَمَّدِ ابْنِ عَبْدِ اللهِ كَمَا أَمَرَكُمُ اللهُ بِذَلِكَ فِي كِتَابِهِ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً [الأحزاب56] اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ .وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الأَئِمَّةِ المَهْدِيِيْنَ أَبِيْ بَكْرِ الصِّدِّيْقِ ، وَعُمَرَ الفَارُوْقِ ، وَعُثْمَانَ ذِيْ النُوْرَيْنِ، وَأَبِي الحَسَنَيْنِ عَلِي، وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنِ الصَّحَابَةِ أَجْمَعِيْنَ، وَعَنِ التَابِعِيْنَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ، وَعَنَّا مَعَهُمْ بِمَنِّكَ وَكَرَمِكَ وَإِحْسَانِكَ يَا أَكْرَمَ الأَكْرَمِيْنَ . اَللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلَامَ وَالْمُسْلِمِيْنَ ، وَأَذِلَّ الشِرْكَ وَالمُشْرِكِيْنَ ، وَدَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنَ، وَاجْعَلْ هَذَا البَلَدَ آمِنًا مُطْمَئِنًّا رَخَاءً وَسَائِرَ بِلَادِ المُسْلِمِيْنَ. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ. اَللَّهُمَّ وَفِّقْ إِمَامَنَا لِهُدَاكَ، وَاجْعَلْ عَمَلَهُ فِي رِضَاكَ، وَوَفِّقْ جَمِيْعَ وُلَاةَ أُمُوْرِ المُسْلِمِيْنَ لِلْعَمَلِ بِكِتَابِكَ، وَتَحْكِيْمِ شَرْعِكَ يَا ذَا الْجَلَالِ وَالإِكْرَامِ. عِبَادَ اللهِ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ ۚ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ. فَاذْكُرُوْا اللهَ العَظِيْمَ الجَلِيْلَ يَذْكُرْكُمْ، وَاشْكُرُوْاهُ عَلَى آلَائِهِ وَنِعَمِهِ يَزِدْكُمْ، وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرَ، وَاللهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ. [Diadaptasi dari tulisan Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas di majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XVIII/1436H/2014M].
Khutbah Iاْلحَمْدُ للهِ اْلحَمْدُ للهِ الّذي هَدَانَا سُبُلَ السّلاَمِ، وَأَفْهَمَنَا بِشَرِيْعَةِ النَّبِيّ الكَريمِ، أَشْهَدُ أَنْ لَا اِلَهَ إِلَّا الله وَحْدَهُ لا شَرِيك لَه، ذُو اْلجَلالِ وَالإكْرام، وَأَشْهَدُ أَنّ سَيِّدَنَا وَنَبِيَّنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ رَسولُه، اللّهُمَّ صَلِّ و سَلِّمْ وَبارِكْ عَلَى سَيِّدِنا مُحَمّدٍ وعلى اله وأصْحابِهِ وَالتَّابِعينَ بِإحْسانِ إلَى يَوْمِ الدِّين، أما بعد فيايها الإخوان، أوصيكم و نفسي بتقوى الله وطاعته لعلكم تفلحون، قال الله تعالى في القران الكريم أعوذ بالله من الشيطان الرجيم، بسم الله الرحمان الرحيم يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا الله وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا، يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ الله وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا وقال تعالى يَا اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ اللهSidang Jum’ah rahimakumullah,Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, Rasululllah SAW bersabdaالْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى Artinya “Tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah.”Apa yang dimaksud dengan “tangan di atas” adalah orang yang memberi, sedangkan “tangan di bawah” adalah orang yang menerima atau meminta. Hadits ini sangat terkenal sehingga banyak orang pernah mendengar hadits tersebut berikut penjelasannya. Banyak orang mengutip hadits itu untuk menasihati agar kita menjauhi perbuatan meminta-minta; sekaligus untuk mendorong agar kita lebih suka memberi dari pada meminta karena yang memberi akan menjadi pihak yang lebih baik dari pada yang diberi. Singkatnya, hadits ini menegaskan bahwa memberi itu lebih baik dari pada meminta. Atau, bahwa meminta itu tidak baik. Sidang Jum’ah rahimakumullah,Apa yang selama ini kita pahami tentang memberi dan meminta biasanya dikaitkan dengan barang atau hal-hal yang bersifat kebendaan. Para pengemis atau orang-orang miskin sering dimasukkan ke dalam kelompok peminta sehingga masyarakat seringkali memandang mereka dengan rendah. Sebaliknya, mereka orang-orang yang berkecukupan atau orang-orang kaya biasanya dimasukkan ke dalam kelompok pemberi atau dermawan sehingga masyarakat memandang mereka dengan penuh Jum’ah rahimakumullah,Lewat khutbah kali ini, khatib ingin mengajukan sebuah pertanyaan, apakah betul bahwa hadits tersebut semata-mata berkaitan dengan pinta-meminta atau beri-memberi dalam hubungannya dengan barang atau kebendaan saja?Hadits itu tidak semata-mata berkaitan dengan barang atau kebendaan seperti itu sebab peminta itu sebenarnya dapat dibagi menjadi 2 dua macam yakni peminta barang dan peminta jasa. Baik peminta barang maupun peminta jasa sama-sama tidak baik dalam pandangan Islam berdasarkan hadits di atas, yakniالْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى Artinya “Tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah.”Lalu pertanyaannya, siapakah orang-orang yang suka meminta jasa? Atau dengan kata lain siapa kelompok orang yang suka minta dilayani? Sidang Jum’ah rahimakumullah,Jika orang-orang miskin atau orang-orang dari kalangan bawah sering dianggap sebagai orang yang suka meminta barang seperti uang, makanan, pakaian dan sebagainya, maka orang-orang mapan atau orang-orang kuat cenderung suka meminta dilayani. Artinya mereka adalah pihak yang suka meminta jasa orang lain. Mereka suka memerintah, atau dengan bahasa yang sangat santun, mereka suka meminta tolong, seperti minta diambilkan ini dan itu, atau minta dibuatkan ini dan itu. Atau minta diangkatkan barang ini dan barang itu; dan kemudian, bagaimana dengan Rasulullah SAW? Apakah beliau suka meminta jasa orang lain dengan minta dilayani ini dan itu?Sidang Jum’ah rahimakumullah,Rasulullah SAW adalah seorang tokoh yang sangat dihormati. Ketika beliau memerintah atau meminta tolong seseorang, tidak ada yang menolak. Bukan karena mereka takut, tapi karena saking hormatnya kepada beliau. Namun demikian beliau lebih suka melayani diri sendiri sebagaimana diceritakan oleh istri beliau, Aisyah, yang diriwayatkan Ahmadعن عائشة أنها سُئلت ما كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يعمل في بيته، قالت "كَانَ يَخِيطُ ثَوْبَهُ، وَيَخْصِفُ نَعْلَهُ، وَيَعْمَلُ مَا يَعْمَلُ الرِّجَالُ فِي بُيُوتِهِمْ"Artinya ”Dari Aisyah RA, beliau ditanya apa yang dikerjakan Rasulullah SAW di rumah? Aisyah menjawab Rasulullah menjahit pekaiannya sendiri, mengesol sandalnya sendiri, dan melalukan apa yang biasa dilakukan laki-laki pada umumnya di rumah mereka.”Hadits di atas menunjukkan bahwa meskipun Rasulullah SAW adalah orang yang sangat mulia – bahkan paling mulia di dunia ini - baik di mata Allah maupun di mata manusia, beliau tidak segan-segan melakukan pekerjaan rumah tangga. Beliau tidak berpikir pekerjaan-pekerjaan seperti menjahit pakaian, mengesol sandal dan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga lainnya akan menurunkan kemuliaan beliau sebagai seorang nabi dan rasul. Tentu saja tidak sebab hanya perbuatan maksiat saja yang akan menurunkan kemuliaan seseorang. Pertanyaan berikutnya adalah kenapa Rasulullah SAW lebih suka melayani diri sendiri dari pada minta tolong kepada orang lain? Jawaban dari pertanyaan ini adalah karena tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah sebagai mana hadits di atas. Hadits tersebut sesungguhnya tidak saja berkaitan dengan hal-hal yang bersifat barang atau kebendaan tetapi juga hal-hal yang bersifat jasa. Oleh sebab itu, Rasulullah SAW lebih suka melayani diri sendiri dari pada dilayani. Hal ini juga dibuktikan dengan suatu peristiwa dimana Nabi Muhammad SAW tidak bersedia menerima tawaran jasa dari Abu Hurairah. Saat itu Abu Hurairah bermaksud membawakan barang milik Rasululullah SAW yang baru saja beliau beli di pasar. Kepada Abu Hurairah, Rasulullah SAW mengatakan صَاحِبُ الشَّيْءِ أَحَقُّ بِشَيْئِهِ أَنْ يَحْمِلَهُArtinya "Pemilik sesuatu barang lebih berhak pantas membawa barang miliknya. "Ketidak bersediaan Rasulullah SAW untuk dilayani Abu Hurairah tersebut menunjukkan bahwa beliau tidak suka merepotkan orang lain sementara beliau masih mampu melakukannya sendiri. Hal ini sekaligus merupakan bukti bahwa Rasulullah SAW adalah orang yang sangat tawadhu’. Jadi memang kesediaan seseorang untuk melayani diri sendiri tidak lepas dari sikap tawadhu’ yang ada pada orang tersebut. Sidang Jum’ah rahimakumullah,Memperhatikan apa yang dipraktikkan Rasullah SAW dalam kehidupan sehari-hari seperti tersebut di atas, marilah kita mencoba mengikuti jejak beliau dengan berusaha semampu kita untuk melayani diri sendiri. Semua jerih payah yang kita lakukan yang didasarkan pada niat untuk tidak merepotkan orang lain pasti akan dicatat sebagai amal ibadah kita masing-masing. Tidak hanya itu, tetes-tetes keringat yang disebabkan karena melakukan aktifitas fisik sesungguhnya memiliki dampak positif bagi kesehatan kita sendiri. Apalagi di jaman sekarang banyak orang mengalami berbagai macam penyakit disebabkan karena kurangnya gerak fisik sebagai akibat dari majunya teknologi yang serba memanjakan manusia. Selain itu, berbagai macam penyakit tersebut juga disebabkan banyak orang mulai tidak suka melakukan kegiatan-kegiatan fisik dan kemudian lebih memilih menyerahkannya ke orang lain. Maka porsi kegiatan fisik menjadi kurang memadai. Untuk itu, marilah dengan prinsip tangan di atas lebih baik dari pada tangan dibawah, kita lakukan sendiri hal-hal yang memang bisa kita lakukan sendiri tanpa meminta jasa orang lain. Tentu saja, dalam hal ini kita harus bisa membedakan antara meminta jasa dengan membeli jasa orang lain. Membeli jasa berarti kita memberi pekerjaan kepada orang lain, dan oleh karena itu kita harus membayar atau menyediakan gaji. Sudah pasti hal ini sangat mulia. Tetapi jika hanya meminta jasa, sudah pasti ini hanya merepotkan orang lain karena sama saja dengan meminta keringat orang lain. Rasulullah SAW tidak suka meminta baik berupa barang maupun jasa. Sidang Jum’ah rahimakumullah,Mudah-mudahan uraian singkat ini dapat memberikan manfaat khususnya bagi diri saya sendiri, dan umumnya kepada jama’ah shalat Jum’at sekalian. Amin ya rabbal اللهُ وَإيَّاكم مِنَ الفَائِزِين الآمِنِين، وَأدْخَلَنَا وإِيَّاكم فِي زُمْرَةِ عِبَادِهِ المُؤْمِنِيْنَ أعوذ بالله من الشيطان الرجيم، بسم الله الرحمن الرحيم يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا باَرَكَ اللهُ لِيْ وَلكمْ فِي القُرْآنِ العَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيّاكُمْ بِالآياتِ وذِكْرِ الحَكِيْمِ. إنّهُ تَعاَلَى جَوّادٌ كَرِيْمٌ مَلِكٌ بَرٌّ رَؤُوْفٌ رَحِيْمٌKhutbah IIاَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًاأَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَاَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَا وَاإنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْMuhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama UNU Surakarta
. Dalam sebuah hadits populer yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Muslim dan Ahmad bin Hanbal, Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam bersabda اَلْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى “Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah.” Rasulullah dalam hadits lain menjelaskan, bahwa “tangan di atas” adalah orang yang bersedekah, dan “tangan di bawah” adalah orang yang menerima pemberian. Kemudian, kebanyakan orang menafsirkan bahwa “orang yang memberi lebih baik daripada orang yang menerima.” Muhammad Fethullah Gulen, seorang ulama asal Turki memiliki penafsiran yang berbeda tentang hadits ini. Dalam bukunya “An-Nur Al-Khalid” yang diajarkan di masjid Al Azhar oleh Syekh Fathi Hijazi, beliau menjelaskan bahwa dalam hadits ini Rasulullah sama sekali tidak menyebutkan bahwa “tangan di bawah” adalah buruk. Hal ini mengisyaratkan bahwa “tangan di bawah” bukanlah sesuatu yang pasti buruk, melainkan hanya kurang baik. Allah selalu menciptakan sesuatu dengan seimbang. “Tangan di bawah” adalah penyeimbang “tangan di atas.” Coba bayangkan jika dunia ini hanya dihuni oleh pemilik “tangan di atas”, maka siapakah yang akan menerima sedekah. Ganjil bukan? Baca juga Kesalahan Memaknai Hadits “Sampaikanlah Dariku Walau Hanya Satu Ayat” Apakah “tangan di atas” selalu lebih baik daripada “tangan di bawah”? Dalam bahasa Arab, orang yang memberi disebut sebagai al-mu’thi, orang yang menerima disebut sebagai al-akhidz. Seandainya Rasulullah menggunakan kedua kata ini dengan maksud untuk menyebutkan apa yang dilakukan oleh “tangan”, maka kalimat yang muncul akan berbunyi “tangan yang memberi lebih baik daripada tangan yang menerima.” Padahal di dalam hadits ini beliau hanya menggunakan kata “di atas” dan “di bawah”. Maka bisa dipahami bahwa tidak selamanya tangan yang memberi lebih baik daripada tangan yang menerima. Dalam beberapa kasus, “tangan di bawah” lebih baik daripada “tangan di atas”. Contohnya adalah seseorang yang terpaksa menerima pemberian dari temannya, demi menjaga perasaan temannya tersebut. Dalam kondisi seperti ini, meski “tangan di atas” lebih baik secara lahir, tapi sebenarnya “tangan yang di bawah” itulah yang berada di atas. Contoh lain adalah orang yang menerima bantuan untuk disalurkannya kembali kepada orang yang membutuhkan. Dalam kondisi seperti ini, “tangan di bawah” berbalik menjadi “tangan di atas”. Seringkali ditemukan orang-orang miskin yang sabar dalam menghadapi ujian duniawi. Tubuh mereka lusuh dan tidak banyak pintu rejeki yang terbuka untuk mereka. Secara lahir orang-orang seperti ini adalah “tangan di bawah.” Namun Rasulullah mengomentari sisi lain mereka dengan bersabda “Seandainya mereka bersumpah bermunajat atas nama Allah, maka pasti Allah akan mengabulkan munajat mereka.” Contohnya adalah Sahabat Barra’ bin Malik radhiyallahu anhu. Beliau termasuk golongan “tangan di bawah”. Namun setiap kali kaum muslimin sedang menghadapi kesulitan dalam pertempuran, mereka selalu meminta Barra’ untuk memintakan kemenangan kepada Allah, dan doanya selalu dikabulkan. Demikian pula halnya dengan sahabat Tsauban radhiyallahu anhu yang menjadi salah satu dari golongan “tangan di bawah”. Rasulullah menasihati Tsauban agar tidak meminta-minta sesuatu kepada orang lain, meski terkadang ada saja manusia yang memberi sedekah kepada Tsauban, bahkan Malaikat Jibril pernah menyambar sebagai manusia untuk bersedekah kepadanya. Baca juga Memaknai Hakikat Rumah Tuhan yang Sering Terabaikan Tentu saja derajat orang-orang seperti Barra’ dan Tsauban tidak mesti di bawah orang-orang yang suka berderma, karena dengan kesabaran dan ketawakkalan mereka, sedekah yang diterima seolah-oleh datang langsung dari Allah subhanahu wa ta’ala. Dari pemaparan di atas, Fethullah Gulen menyimpulkan bahwa tidak semua "tangan di atas" yang memberi lebih baik daripada tangan yang menerima. Adapun maksud dari hadits tersebut adalah bahwa Rasulullah berpesan kepada umat Islam supaya menjadi orang-orang yang terhormat dengan tidak meminta-minta kepada orang lain.
0% found this document useful 0 votes937 views11 pagesDescriptionUngkapan tangan di atas dalam islamCopyright© © All Rights ReservedAvailable FormatsPDF, TXT or read online from ScribdShare this documentDid you find this document useful?0% found this document useful 0 votes937 views11 pagesMemahami Makna Ungkapan Tangan Di Atas Lebih Baik Dari Tangan Di BawahJump to Page You are on page 1of 11 You're Reading a Free Preview Pages 6 to 10 are not shown in this preview. Reward Your CuriosityEverything you want to Anywhere. Any Commitment. Cancel anytime.
gambar tangan diatas lebih baik daripada tangan dibawah